5. Pengenalan
Rasio Keuangan Bank
Ø Legal Reserve Requirement (LRR)
Reserve Requirement adalah ketentuan bagi
setiap bank umum untuk menysihkan sebagian dari dana pihak ketiga yang berhasil
dihimpunnya dalam bentuk giro wajib minimum berupa rekening giro bank yang
bersangkutan pada bank Indonesia atau lebih dikenal juga dengan likuiditas
wajib minimum adalah sejumlah tertentu alat likuid yang harus tetap berada di
bank untuk memenuhi likuiditas bank tersebut. Ketentuan likuiditas wajib
minimum ini dibedakan dalam dua kategori perhitungan yaitu likuiditas wajib
dalam rupiah dan likuiditas wajib dalam valuta asing.
Ø Loan
To Deposit Ratio (LDR)
LDR adalah rasio
yang pada awalnya digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank. Dalam arti
apabila LDR di atas 110% berarti likuiditas bank kurang baik karena jumlah DPK
tidak mampu menutup kredit yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana
antarbank (call money) untuk menutup kekurangannya. Dana dari call money
bersifat darurat, sehingga seyogianya bank tidak menggunakan dana semacam itu
untuk membiayai kredit. Dana call money adalah untuk membiayai
mismatch likuiditas jangka sangat pendek.
Namun demikian, sejak
terjadinya krisis perbankan dan dilanjukan dengan proses rekapitalisasi
perbankan tahun 1999 di mana kredit perbankan sekitar Rp 300 triliun dialihkan
ke BPPN, maka LDR perbankan langsung merosot drastis karena jumlah kredit
berkurang sedangkan jumlah DPK tidak berubah. Begitu rendahnya angka LDR paska
rekapitalisasi tahun 1999-2000, akhirnya angka LDR berubah fungsi dan lebih
sering digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur
kemampuan sebuah bank dalam menyalurkan kredit (fungsi intermediasi).
Penyebab LDR Rendah
Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa perbankan nasional pernah mengalami kemerosotan jumlah kredit
karena diserahkan ke BPPN untuk ditukar dengan obligasi rekapitalisasi. Begitu
besarnya nilai kredit yang keluar dari sistem perbankan di satu sisi dan
semakin meningkatnya jumlah DPK yang masuk ke perbankan, maka upaya ekspansi
kredit yang dilakukan perbankan selama sepuluh tahun terakhir sepertinya belum
berhasil mengangkat angka LDR secara signifikan.
Fungsi LDR
Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa LDR pada saat ini berfungsi sebagai indikator intermediasi
perbankan. Begitu pentingnya arti LDR bagi perbankan maka angka LDR pada saat
ini telah dijadikan persyaratan antara lain :
1). Sebagai salah satu
indikator penilaian tingkat kesehatan bank.
2). Sebagai salah satu
indikator kriteria penilaian Bank Jangkar (LDR minimum 50%),
3). Sebagai faktor
penentu besar-kecilnya GWM (Giro Wajib Minimum) sebuah bank.
4). Sebagai salah satu
persyaratan pemberian keringanan pajak bagi bank yang akan merger.
Begitu pentingnya arti
angka LDR, maka pemberlakuannya pada seluruh bank sedapat mungkin diseragamkan.
Maksudnya, jangan sampai ada pengecualian perhitungan LDR di antara perbankan.
LDR Versi Baru
Tidak seperti LDR
versi lama yang perhitungannya seragam dan diberlakukan untuk seluruh bank.
Dalam LDR versi baru, dari info yang mengemuka di media massa, BI akan
menerapkan LDR dengan memasukkan obligasi korporasi sebagai komponen kredit
hanya untuk bank tertentu (tidak untuk seluruh bank). Menurut BI, tidak semua
bank telah memiliki manajemen risiko memadai untuk bermain obligasi korporasi. Jika
kebijakan ini yang ditempuh tentu ada aspek positif dan negatifnya.
Aspek positif
1. Bank kecil akan
terhindar dari risiko obligasi yang cukup kompleks, yaitu adanya risiko default
(credit risk) dan risiko pasar (fluktuasi harga obligasi akibat volatilitas
suku bunga pasar).
2. Karena kupon obligasi
korporasi lebih tinggi dari pada suku bunga SBI, diharapkan ke depan, perbankan
akan menggeser penempatan pada SBI menjadi obligasi korporasi. Hal ini akan
menggairahkan pasar obligasi korporasi yang selama ini belum menjadi investasi
utama perbankan. Apabila SBI perbankan per Juni 2007 sebesar Rp 202 triliun
diasumsikan seluruhnya dipindahkan ke obligasi korporasi yang akan meningkatkan
angka “Loan”, maka LDR perbankan per Juni 2007 yang semula sebesar 63,57% akan
meningkat sebesar 14,91% atau menjadi 78,48%. Angka LDR tersebut akan lebih
besar lagi jika obligasi korporasi yang saat ini telah dipegang perbankan juga
dimasukkan sebagai komponen “Loan”.
Aspek negatif
Dimasukkannya obligasi
korporasi dalam perhitungan LDR)
1. Nantinya hanya bank
besar saja yang akan dapat menikmati peningkatan LDR tanpa harus melakukan
ekspansi kredit. Dengan LDR yang tinggi maka bank tertentu akan dapat menjadi
Bank Jangkar, Bank Sehat, dapat memperoleh insentif pajak ketika melakukan
merger, dan yang akan secara langsung dinikmati adalah berkurangnya GWM terkait
dengan perbaikan LDR.
2. Apabila besanya nilai
obligasi korporasi tersebut terjadi akibat adanya pergeseran SBI, maka ada
kemungkinan CAR (Capital Adequacy Perbankan) akan merosot karena ATMR SBI = 0,
sedangkan ATMR Obligasi Korporasi = 100%.
Jika dilihat dari cara
perhitungan LDR versi baru, maka sebenarnya tidak ada nilai tambah yang
disumbangkan oleh perbankan kepada perekonomian nasional pada saat pemberlakuan
LDR versi baru. Hal ini karena :
1. Pembelian obligasi
korporasi di pasar sekunder oleh perbankan sebenarnya tidak secara langsung
meningkatkan aktivitas sektor riil karena penerbit obligasi telah memperoleh
kucuran dana pada saat penerbian obligasi di pasar perdana. Pembelian obligasi
korporasi oleh bank di pasar sekunder hanya akan merupakan refinancing bagi pemegang
obligasi sehingga efek terhadap sektor riil masih akan ditentukan oleh
bagaimana si penjual obligasi tersebut menggunakan uang hasil penjualan
obligasinya. Jika uang tersebut ternyata hanya disimpan di bank, maka aktivitas
sektor riil tidak tersentuh. Hal ini akan berbeda apabila bank membeli obligasi
korporasi di pasar perdana yang akan memberikan manfaat langsung kepada
penerbit.
2. Penerapan LDR versi
baru seyogianya tidak menimbulkan diskriminasi di antara perbankan. Penulis
berpendapat LDR versi baru hanya relevan untuk diterapkan dalam menentukan Bank
Jangkar. Hal ini dapat dipahami karena ke depan, hanya bank besar saja yang layak
menjadi bank jangkar sehingga LDR versi baru akan memberikan insentif bagi bank
besar untuk terus memperbaiki kinerjanya agar dapat menjadi bank jangkar.
Sedangkan angka LDR
versi baru tidak seyogianya diberlakukan untuk menetapkan kriteria tingkat
kesehatan bank, pemberian insentif pajak bagi bank yang akan merger, dan
mengaitkan LDR versi baru dengan pemenuhan rasio GWM. Tiga kriteria terakhir
ini akan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan, khususnya bagi bank
kecil yang tidak dapat berperan untuk membeli obligasi korporasi.
Akhirnya, adanya
harapan peningkatan LDR versi baru hanya akan terjadi apabila terhadap obligasi
korporasi tidak seluruhnya dikenakan ATMR 100%. Bagi obligasi dengan peringkat
AAA (the highest investment grade), ATMR-nya harus diturunkan mendekati nol.
Jika tidak demikian,maka perbankan tidak akan memindahkan penempaan SBI ke
obligasi korporasi karena akan mengancam CAR mereka, padahal angka CAR
merupakan indikator yang jauh lebih penting daripada agka LDR versi apapun
Ø Capital Adequacy Ratio (CAR)
CAR(Capital Adequacy Ratio) adalah rasio
kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan
dihadapi oleh bank.
Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko.
Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. CAR dihitung dengan cara membagi modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko.
Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko.
Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. CAR dihitung dengan cara membagi modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko.
3.
Perhitangan
Legal Lending Limit (LLL)
Perhitungan Legal Lending Limit (LLL) adalah faktor Permodalan
(Capital), Kualitas Aktiva Produktif (Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning)
dan Likuiditas. Analisis ini dikenal dengan istilah Analisis CAMEL.
·
ASPEK PERMODALAN (CAPITAL)
Penilaian pertama adalah aspek permodalan, dimana aspek ini menilai
permodalan yang dimiliki bank yang didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal
minimum bank. Penilaian tersebut didasarkan pada CAR (Capital Adequacy
Ratio) yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), yaitu perbandingan antara
Modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko.
·
ASPEK KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (ASSET )
Aktiva produktif atau Productive Assets atau sering disebut dengan Earning
Assets adalah semua aktiva yang dimiliki oleh bank dengan maksud untuk
dapat memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya.
Ada empat macam jenis
aktiva produktif yaitu :
1.
Kredit yang diberikan
2.
Surat berharga
3.
Penempatan dana pada bank lain
4.
Penyertaan
Penilaian aset, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (BI) adalah dengan
membandingkan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan dengan aktiva
produktif. Selain itu juga rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif
terhadap aktiva produktif yang diklasifikasikan. Klasifikasi aktiva produktif
merupakan aktiva produktif yang telah dilihat kolektabilitasnya, yaitu lancar,
kurang lancar, diragukan dan macet.
·
ASPEK KUALITAS MANAJEMEN (MANAGEMENT)
Aspek ketiga penilaian kesehatan bank meliputi kualitas manajemen bank.
Untuk menilai kualitas manajemen akan mengajukan 250 pertanyaan yang menyangkut
manajemen bank yang ebrsangkutan. Kualitas ini juga akan melihat dari segi
pendidikan serta pengalaman para karyawannya dalam menangani bebagai kasus yang
terjadi.
·
ASPEK RENTABILITAS (EARNING)
Penilaian aspek ini diguankan untuk mengukur kemampuan bank dalam meningkatkan
keuntungan, juga untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang
dicapai bank yang bersangkutan. Penilaian ini meliputi ROA atau Rasio
Laba terhadap Total Aset dan Perbandingan antara Biaya
Operasional dengan Pendapatan Operasional (BOPO).
·
ASPEK LIKUIDITAS (LIKUIDITY)
Aspek kelima adalah penilaian terhadap aspek likuiditas bank. Suatu bank
dukatakan likuid, apabila bank yangbersangkutan mampu membayar semua hutangnya,
terutama hutang-hutang jangka pendek. Selain itu juga bank harus mampu memenuhi
semua permohonan kredit yang layak dibiayai.
Penilaian dalam aspek
ini meliputi :
·
Rasio kewajiabn bersih Call Money terhadap Aktiva Lancar
·
Rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank seperti KLBI,
Giro, Tabungan, deposito dan lain-lain.
Seraca umum penilaian tingkat kesehatan bank dapat dirangkum sebagai berikut :
Jumlah bobot untuk
kelima faktor tersebut adalah 100%. Nilai kredit kemudian digunakan untuk
menentukan predikat kesehatan bank, ditetapkan sebagai berikut :
Disamping penilaian analisis CAMEL, kesehatan bank juga dipengaruhi
hasil penilaian lainnya, yaitu penilaian terhadap :
1.
Ketentauan pelaksanaan pemberian kredit Usaha Kesil (KUK) dan
pelaksanaan Kredit Eksport
2.
Pelanggaran terhadap ketantuan Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) atau sering disebut dengan Legal Lending Limit.
3.
Pelanggaran Posisi Devisa Netto.
Ø Non performing Loan/NPL
Non
performing loan adalah kredit yang masuk ke dalam kualitas kredit
kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia (SE No. 7/3/DPNP). NPL yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan angka perubahan NPL bulan Desember 2008 dan Januari 2009, dengan
kategori 1 = meningkat, 0 = menurun atau tetap.
Variabel Kebijakan Bank Indonesia (KBI) mempengaruhi NPL secara signifikan. KBI No. 7 Tahun 2005 menyebutkan bahwa adanya pengharusan dilakukannya penyeragaman penilaian dan pengategorian kualitas aktiva produktif oleh bank. Hasil pengolahan nilai signifikansi variabel KBI adalah 0,016. Hal ini berarti KBI signifikan mempengaruhi NPL pada tingkat kepercayaan 95% karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 dan terjadi perbedaan yang nyata antara NPL setelah diterapkannya KBI dengan NPL sebelum diterapkannya KBI.
kurang lancar, diragukan dan macet berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh
Bank Indonesia (SE No. 7/3/DPNP). NPL yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan angka perubahan NPL bulan Desember 2008 dan Januari 2009, dengan
kategori 1 = meningkat, 0 = menurun atau tetap.
Variabel Kebijakan Bank Indonesia (KBI) mempengaruhi NPL secara signifikan. KBI No. 7 Tahun 2005 menyebutkan bahwa adanya pengharusan dilakukannya penyeragaman penilaian dan pengategorian kualitas aktiva produktif oleh bank. Hasil pengolahan nilai signifikansi variabel KBI adalah 0,016. Hal ini berarti KBI signifikan mempengaruhi NPL pada tingkat kepercayaan 95% karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 dan terjadi perbedaan yang nyata antara NPL setelah diterapkannya KBI dengan NPL sebelum diterapkannya KBI.
Ø Net
Interest Margin (NIM)
Net Interest Margin (NIM) adalah perbandingan antara pendapatan bunga
bersih (pendapatan bunga bank yang sudah dikurangi beban pokok), dengan nilai
aset produktif. Yang dimaksud dengan aset produktif adalah aset yang
menghasilkan bunga tadi (istilahnya net bearing assets). Misalnya, sebuah bank
asetnya 100 milyar. Dari total aset tersebut, 80 milyar diantaranya disalurkan
kesana kemari dalam bentuk kredit, surat berharga, obligasi, dll, sehingga
menghasilkan pendapatan bagi bank berupa bunga. Nah, 80 milyar inilah yang
disebut dengan aset produktif. Jika bank tersebut mencatat pendapatan bunga 5
milyar dalam setahun, kemudian setelah dikurangi beban pokok
hasilnya adalah 4 milyar, maka NIM-nya adalah 4 / 80 = 0.05 = 5%.
Seperti CAR, anda tidak
perlu repot-repot menghitung NIM ini, karena bank sudah mencatumkannya di lap
keu-nya. Semakin besar nilai NIM, maka semakin bagus bank tersebut, karena itu
berarti pendapatannya terbilang besar dibanding asetnya. Kalau dibandingkan
dengan rasio fundamental pada emiten yang umumnya, NIM ini kira-kira sama (tapi
tidak sama persis) dengan ROA (Return on Assets), alias rasio laba bersih
terhadap aset.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar